Asal Mula Kata 'Bakung' Menjadi Identitas Lepo Bakung

Asal Mula Kata 'Bakung' Menjadi Identitas Lepo Bakung

Etnis Dayak merupakan etnis kebangsaan Indonesia yang berada di pulau Kalimantan (Borneo). Dayak merupakan salah satu suku asli Kalimantan. Berbeda dengan suku asli Kalimantan, Indonesia, lainnya yang tinggal di pesisir Kalimantan, Indonesia. Dahulu, masyarakat etnis Dayak hidup/tinggal di pedalaman Kalimantan, antara Indonesia dan Malaysia. Beberapa tahun lamanya perlahan mereka menuju pesisir/perkotaan untuk memperoleh pendidikan, tenaga medis, dan sembako. Kebanyakan mereka menuju pesisir Indonesia, sebagian menuju Malaysia, sehingga terkesan mereka datang dari hulu sungai, atau dalam bahasa Dayak, hulu sungai disebut daya.

 

Pertemuan etnis pedalaman dengan etnis pesisir memungkinkan terjadinya percakapan dengan bahasa yang berbeda. Sehingga terjadi kesalahan memaknai pada beberapa percakapan. Diungkapkan bahwa identitas Dayak muncul dari percakapan seperti ini.

 

Orang Pesisir (Osir): terkesima melihat rupa orang pedalaman yang lusu, kotor, dan berpakaian tidak lengkap. Walau memiliki perut buncit, tapi kaki, lengan, dada, dan lehernya berotot. Kemudian dalam sela tukar-menukar barang, Osir bertanya, "Kamu siapa?" menggunakan bahasanya sendiri.

Orang Pedalaman (Oman): diam dan membaca bahasa tubuh Osir, karena tidak paham bahasa daerah Osir. Oman kemudian menunjuk hulu sungai, "Cen daya," katanya, menggunakan bahasanya.

Osir: mengangguk-angguk. Membaca gerak tubuh Oman. "Kamu orang apa?"

Oman: "Cen daya."

Osir: "Dari mana? Orang apa?"

Oman: bingung, karena pertanyaan terus diungkapkan Osir. Oman mengira Osir kurang mendengar atau tidak menangkap dialeknya, kemudian Oman meningkatkan tingkat suaranya seakan berteriak, "Ame nei cen dayak....!" (kami dari hulu).

Osir: "kamu orang dayak?"

Oman: mengira Osir paham karena sudah menyebut daya menjadi dayak, kemudian mengiyakan-iyakan Osir. "Iya, iya, iya, dayak.." katanya, menggunakan kata "k" pada akhir kata daya, karena begitulah Osir menyebutnya. Lagian karakter Oman tidak terlalu peduli pada persoalan dialek, yang belakangan melahirkan identitas mereka menjadi orang Dayak. Begitulah seterusnya orang pesisir menyebutkan orang pedalaman sebagai Dayak pada pertemuan-pertemuan selanjutnya, sehingga memunculkan etnis Dayak.

 

Dayak terdiri dari beberapa rumpun[1], salah satunya adalah rumpun ‘Kenyah’, yang terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri. Kelompok Dayak Kenyah, terbagi dalam sub-sub mencapai 39 sub[2]. Tapi walau pun terbagi demikian, masing-masing sub Dayak Kenyah mempunyai adat istiadat, budaya, dan bahasa yang mirip.

 

Salah satu sub Dayak Kenyah tersebut adalah Bakung atau yang sering disebut ‘Dayak Kenyah Bakung yang sampai pada hari ini eksistensi budayanya masih mudah ditemui di beberapa perkampungan Dayak di Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Hal ini dikarenakan etnis ini masih hidup secara berkelompok.

 

Dahulu suku Dayak Kenyah hidup dalam kelompok besar. Dikarenakan arus migrasi yang kuat dari para pendatang di pesisir Kalimantan, khususnya bagian Serawak, Malaysia, suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Mereka yang terdesak ini sering terjadi kekacauan antara mereka sendiri untuk menguasai daerah tertentu sehingga hidup berpindah-pindah. Akibatnya, Suku Dayak menjadi terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri. Perpecahan atau pemisahan juga disebabkan oleh para paren/bangsawan yang ingin memimpin pengikutnya sendiri dengan menguasai wilayah tertentu. Mereka tidak ingin dipengaruhi oleh paren yang lain.

 

Salah satu kelompok atau sub-etnis yang berpisah, atau sering diungkapkan bahwa etnis ini yang ditinggalkan, menetap di daerah sungai Pujungan[3], tempatnya berada di long[4] Bakung. Kelompok dan daerah tempat tinggal inilah yang menjadi titik awal munculnya sebutan Bakung bagi Dayak Kenyah Bakung, atau Kenyah Bakung, atau lepo[5] Bakung.[6]

 

Jadi, asal mula sebutan Bakung bagi etnis Dayak Kenyah Bakung berawal dari ketika kelompok kecil yang terpisah ini tinggal di tepi Sungai Bakung. Sejak saat itu, walau kelompok ini dalam kisahnya masih berpindah-pindah dan berpencar ke dalam kelompok yang lebih kecil, mereka telah sepakat untuk tetap menggunakan nama Bakung sebagai identitas tiap kelompoknya.

Perpindahan dan perpencaran kelompok ini belakangan terlihat pada beberapa kampung yang mayoritas dihuni lepo Bakung di Kalimantan Utara dan Kalimantan Timur. Perkampungan lepo Bakung saat ini seperti Kalimantan Timur: Pampang desa Budaya, dll. Kalimantan Utara: Metun Sajau, Long Bang, Metun, dll.

 

Penulis: Robert Usat



[1] Rumpun Dayak: rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun Iban, rumpun Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju dan rumpun Punan.

[2] Dayak Kenyah terdiri dari 39 subetnis yang tersebar di Kalimantan Timur dan Utara, yaitu; Lepo Tau, Lepo Jalan, Lepo Tukung, Lepo Bakung, Lepo Kulit, Lepo Timai, Lepo Bem, Uma Badeng, Uma Ujok, Uma Awai, Uma Pawa, Uma Abung, Uma Baka, Uma Abai, Uma Putuk, Uma Bau, Uma Milau, Uma Paya, Uma Benuaq, Uma Alim, Uma  Lasan, Uma Ma’ut, Uma Sun, Uma Keh, Uma Pua, Uma Nyibun, Uma Merau, Uma Ndang, Uma Baka, Uma Badeng, Uma Kelep, Uma Aga, Uma Asa, Uma Punan, Uma Basap, Uma Siang, Uma Tepuan, Uma Lirung, dan Uma Kuda.

[3] Pujungan: sebuah daerah tempat tinggal, sungai, yang berada di Kabupaten Malinau, Kalimantan Utara, Indonesia.

[4] Long: sungai kecil, tapi lebih besar dari kali. Long Bakung berarti sungai Bakung.

[5] Lepo: kelompok/masyarakat.

[6] Lukas Lahang et al. 2000. Sejarah Perpindahan dan Penyebaran Dayak Kenyah Lepo Bakung di Kalimantan Timur. Tanjung Selor, Bulungan. Diterbitkan untuk kalangan sendiri

 

SANGGAR SENI KOLENG

Kearifan Lokal Bertani Suku Dayak Kenyah Bakung

Sebagai bagian dari bangsa Indonesia, masyarakat Dayak Kenyah Bakung memiliki budaya bertani yang...

Seni Budaya Suku Dayak Kenyah Bakung

Seni budaya merupakan suatu keahlian membuat karya yang bermutu (dilihat dari kehalusannya,...

Items: 6 - 7 of 7
<< 1 | 2

Cerpen

Ketika Ayah Menyebelkan

08/08/2014 23:07
Saat-saat bersama merupakan hal yang kadangkala menjengkelkan. Seperti aku saat berada bersama ayahku. Bila aku melakukan kesalahan, maka dia akan menasehati aku selama waktu yang tidak sebentar. Saat dia menasehati aku: Itu membosankan. Itu memuakkan. Itu pengetahuan yang kuno. Itu … Tapi akhirnya...

Saat Kami Berkorban

08/08/2014 22:56
“Bangunlah, Nak. Matahari sudah meninggi,” kata ibu. Biasanya, setiap pagi Ibu berkata seperti itu dulu saat aku sekolah dasar. Setelah itu, dia akan berkata lagi, “Bantu Ibu mencuci piring ya.” Kalau sudah begitu, aku akan bangun dengan sikap pura-pura sakit. Tapi, lagi-lagi Ibu mengenal aku lebih...

Cita-Cita Ayah

08/08/2014 22:46
Saat aku kelas dua sekolah dasar, aku usia delapan tahun. Pada suatu pagi hari libur, aku dan ayah menghampiri pondok keluarga. Butuh waktu lama ke situ, kedua lututku hampir koyak setelah melewati sebuah batang pohon―sebesar penampung air minum di kosku―tumbang menghalangi jalan setapak menuju...

Masa Kecil

08/08/2014 22:36
“Ayah, walau kau tak punya banyak waktu denganku pada setiap hari, ceritakanlah segala tentang dirimu, segala yang kau tahu, dan segala yang berhak aku ketahui, karena aku adalah anakmu dan aku ingin mengenalmu.”   Saat aku kecil, aku dan ayahku di suatu tempat―mirip kebanyakan kita yang lahir...